Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan
dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan
hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata
di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum
yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai
pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah
raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman[3].
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks
inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan
Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5].
Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi
lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap
dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton
Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO
Tata ruang dan arsitektur umum
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai “arsitek” dari saudara Pakubuwono II Surakarta“[6]. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7]
diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan
kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang
tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan
restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
[sunting] Tata ruang
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung[8]
Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara
ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler
(Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks
Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler;
Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks
Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana
Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung
Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh
dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton
menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap
ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap
timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah
yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga
memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks
Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks
Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar
kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya
terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan
Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait
dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem
Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
[sunting] Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi
dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan
kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain
dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12]
. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di
muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya
arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat
sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.
Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut
dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap,
genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap
tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru
yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang
bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen
berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk
bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada
dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur
Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan
ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun
dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih
atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman
berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk
kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan
yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki
detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas
dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana
bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas
bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau
keseluruhan dari bangunan itu sendiri.[14]
Kompleks depan
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis[16].
Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar
jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman
pengasingan/pembuangan[17].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet[18].
Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos
Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada[19].
Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang
masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara.
Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan
Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas
sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih
berdiri[20]. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
Alun-alun Lor
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput[21]
di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk
persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi[22].
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian
selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja
yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka
untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru[23]. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem [24]
yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang
dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk
melakukan “Tapa Pepe”[25] saat Pisowanan Ageng[26] sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah[27].
Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala
keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti
Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan[28].
Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian
sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang
menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat
penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat
banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara
watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang
tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan
masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat
penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak
bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
Mesjid Gedhe Kasultanan
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid
Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara.
Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug
persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam
terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat
terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.
Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan
ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai
masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi
sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi
utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu
kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu.
Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan
masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan.
Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan
Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul
(Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk
menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto[29] pada upacara Sekaten di tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu[30] di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
Kompleks inti
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat[31].
Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan
menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk
even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat
keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh
sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh
Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi
luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima
Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor
kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom
Jaba[32].
Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang
menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit
yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran
dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di
sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.[33].
Siti Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil.
Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan
upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949
digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi
dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi
utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan
pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro[34] sampai sekitar tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung
terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk
kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu
rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut
Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil[35].
Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat
acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan
Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono
berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih
besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini
digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan
pada saat acara resmi kerajaan[36].
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK[37] Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.
[sunting] Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah
timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan
terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan.
Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan.
Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di
hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks
Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812)
bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman
mati dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain
mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan
dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat
seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat
kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang
dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.[38]
[sunting] Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti
yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu
penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka
keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan
untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi
tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut
tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai
pengadilan (?). Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka
yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh
pada 27 Mei 2006
akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses
restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010
bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.[39]
[sunting] Kedhaton
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna[40].
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan,
merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua
bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal
Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion)
yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini
dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk
upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso
yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan
pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka
Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[41]. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap
ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi
kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka
kerajaan pada bulan Suro[42]. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak[43], Bangsal Mandalasana[44], Gedhong Patehan[45], Gedhong Danartapura[46], Gedhong Siliran[47], Gedhong Sarangbaya[48], Gedhong Gangsa[49], dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat[50]
pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini
merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang.
Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton.
Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat
penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan
Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.[51]
Kamagangan
Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan
yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang
ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat
patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton
Yogyakarta[52]. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari
yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman
Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan
oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman
Sari.[53]
Kamandhungan Kidul
Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat
sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat
gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang
Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan,
yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara
kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang
disebut dengan Pamengkang. [54]
Siti Hinggil Kidul
Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan
hinggil : tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad
terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil
Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini
ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya[55]. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk
menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih
upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)[56] [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo.
Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara
pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul
digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya
wayang kulit, pameran, dan sebagainya.[57]
Kompleks belakang
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi
(belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang
memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh
tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan
serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura
utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.[58]
Plengkung Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari
tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan
pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang[59].
Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi
panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini
kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.
Bagian lain Keraton
Pracimosono
Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang
diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara
adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini.
Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat
Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.[60]
Roto Wijayan
Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk
menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut
sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton.
Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu
digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.[61]
Kawasan tertutup
Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang
berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan
dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen
merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga
kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat
Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat
akad nikah bagi keluarga Sultan[62]. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.[63]
Taman Sari
Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden)
berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat
rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat
tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling
yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya
terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam
surau tempat Sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui
lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang
lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan
penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh.
Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.[64]
Kadipaten
Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra
Mahkota atau dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra
Mahkota: “Pangeran Adipati Anom”. Tempat ini terletak di Kampung
Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang
kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid Selo yang dulu berada di Sawojajar.[65]
Benteng Baluwerti
Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan
sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan
sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota di tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809
ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki
ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke
dalam area benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang
disebut dengan Plengkung, dua diantaranya hingga kini masih
dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan
bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.[66]
0 komentar:
Posting Komentar