Setelah meruntuhkan kerajaan Tang, orang-orang Mongol kemudian
mendirikan sebuah pemerintahan baru yang diberi nama Sung (Song). Salah
satu anak Jenghis Khan, sang penakluk kerajaan Cina, bernama Kublai
Khan menjadi raja pertamanya. Keinginan untuk memperluas pengaruh
bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan
kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan
menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar
Mongol sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal
tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina. Salah
satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara
dari kerajaan Singhasari.
Untuk maksud tersebut, Kublai Khan mengirim seorang utusan bernama
Meng Chi ke Jawa meminta raja Kartanagara untuk tunduk di bawah
kekuasaan Cina. Merasa tersinggung, utusan itu dicederai wajahnya oleh
Kartanagara dan meingirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia
tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja Mongol. Perlakuan
Kartanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kublai
Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat
itu, ia merasa terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang
menurutnya telah mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini dituliskan dalam beberapa sumber di
Cina dan merupakan sejarah yang sangat menarik tentang kehancuran
kerajaan Singhasari dan munculnya kerajaan Majapahit, seperti yang dapat
kita baca dalam buku nomor 162 dari masa pemerintahan Dinasti Yuan
yang terjemahannya dapat dibaca dalam buku W.P. Groeneveldt berjudul
Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources
(1963: 20-31).
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang
pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya
Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang
Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan
seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama
satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike
Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan
Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan
perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan
Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.
Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang
satu bulan
Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu
melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak
yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa
melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat
perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di
Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah
berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani
wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa
untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih
Pi. Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah
tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya
sebagai raja Singhasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa
raja Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa
Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum
menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau
Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah
berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan
kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari,
selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai
sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai seorang pelaut yang
berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari
pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja
sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada
Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala tentara Mongol (disebut
Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura, Aria Wiraraja, yang
mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja berjanji
kepada raja Mongol bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik
sebagai tanda persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada
raja Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah
merapat di Jawa (Pitono, 1965: 44).
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih
Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat
di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan
darat. Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka.
Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal
cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar bahwa pasukan Raden
Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan pasukannya.
Melihat keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit ini
kemudian dijadikan bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya
memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di
bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha,
ibukota Singhasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada
Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang
menghancurkan Jayakatwang.
Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil (mungkin setingkat provinsi
di masa sekarang) turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga
menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari
Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka
mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui
sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di
mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Singhasari mulai
dilancarkan. Kekuatan kerajaan Singhasari di sungai tersebut dapat
dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat
disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya
melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak
pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di
mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil
mengalahkan pasukan Singhasari. Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan
kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singhasari.
Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan
berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi
peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singhasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha
memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam
peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang
pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang
berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para
penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan
tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang
sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya
terbunuh (slain = bantai) setelah bertempur dengan tentara gabungan
Mongol-Majapahit. Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke
perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan
Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam
kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar
dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh
anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singhasari berikut anak-anak
mereka ditahan oleh bangsa Mongol. Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan
kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh
200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan
persembahakn kepada raja Kublai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua
panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol
menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu (Pitono, 1965 46).
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya
menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa mereka keluar dari Pulau
Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari pasukannya itu harus
melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130 kilometer), sebelum akhirnya
dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan yang menunggunya di pesisir
utara. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan
mendarat di Chuan-chou.
Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini
tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak
pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia.
Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan
menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan
oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat
kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh
hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan
Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan
Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat
mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa
kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan
keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati
dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak
lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal
olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan,
seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas
peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia
dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi
menghukum Jawa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk
kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara
melukai wajah Meng Chi. Namun sebagai raja yang tahu menghargai
kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan
harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam
hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam
usia 86 tahun.
Berbeda dengan Sora dan Ranggalawe, setelah berdirinya kerajaan
Majapahit mereka justru dihukum mati karena dituduh melakukan makar
(memberontak) terhadap Raden Wijaya atas hasutan Mahapati. Termasuk
Nambi dan tokoh-tokoh berjasa lainnya yang mempunyai andil besar
mendirikan kerajaan baru menggantikan hegemoni Singhasari di Nusantara.
CP : http://agusbyna.wordpress.com/2010/02/28/sejarah-runtuhnya-kerajaan-singasari-dan-munculnya-kerajaan-majapahit/
0 komentar:
Posting Komentar