SHALAWAT GLOBAL YANG KELEWAT GOMBAL
.Anda ingin tahu
apa jadinya jika urusan ibadah dan akidah dioplos dengan kemusyrikan, kekafiran
dan komoditi seni? Jawabannya ada dalam “Shalawat Global” made in
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), budayawan asal Jombang, Jawa Timur – satu daerah
dengan dukun cilik Ponari dan tukang jagal Ryan. Shalawat ini mencuat setelah
video pementasannya di depan jamaah Pengajian Tombo Ati disebarluaskan di
internet
Dalam
video Shalawat Global, tampak Emha dan anak buahnya berseragam putih-putih,
para penyanyi pria mengenakan peci putih sedangkan wanitanya memakai jilbab
putih. Dengan wajah-wajah sumringah penuh semangat, mereka melantunkan
beberapa lagu gereja yang sangat populer dengan aransemen khas gamelan Jawa.
Lirik lagu-lagu gereja tersebut diubah, diarabkan dan diisi dengan shalawat
nabi yang begitu populer di kalangan Nahdiyin. Dua lagu populer gereja yang
dicomot Emha adalah “Hevenu Shalom Aleikhem” dan lagu Natal “Joy to the World.”
Lagu “Hevenu Shalom
Aleikhem” ciptaan Goldfarb, seorang Rabi Amerika Israel pada bulan Mei 1918 ini
sangat populer di kalangan orang Israel maupun umat kristiani. Sedemikian
masyhurnya melodi ini di berbagai belahan dunia, sampai-sampai ada yang
menganggap bahwa lagu ini adalah warisan Nabi Musa di Gunung Sinai. Bagi orang
Yahudi, Shalom Aleikhem adalah lagu adat dinyanyikan pada malam Sabtu (Sabbath
Yahudi) dengan sangat gembira dan penuh suka cita. Lirik lagu ini adalah
sbb:
“Havenu shalom, shalom aleikhem, shalom, shalom
aleikhem. Havenu shalom, shalom aleikhem, shalom, shalom aleikhem. Shalom,
shalom aleikhem. Ku bawa b’rita sejahtera, damai, damai t’lah datang. Ku bawa
b’rita sejahtera, damai, damai bagimu. Damai, damai bagiku.”Oleh Emha, lagu Israel ini diplagiat menjadi
unsur Shalawat Global dengan mengarabkan liriknya menjadi: “Alaika salam
alaikum. Alaika salam alaikum. Alaika salam, salam, salam alaikum…” Sedangkan “Joy to the World” ciptaan Issac Watts
(Inggris) tahun 1719 adalah lagu Natal yang sangat populer bagi umat Kristen,
karena di setiap perayaan Natal lagu ini dikumandangkan, bersama lagu natal
yang lain: Malam Kudus (Silent Night), Gita Surga Bergema (Hark,
The Herald Angels Sing), White Christmas, Jingle Bells,[1] dll.
Di Indonesia, himne natal “Joy to the World” bisa
ditemui dalam Kidung Jemaat 119 dengan judul “Hai Dunia Gembiralah” dengan
lirik sebagai berikut:
“Hai dunia, gembiralah dan sambut Rajamu! Di
hatimu terimalah! Bersama bersyukur, bersama bersyukur, bersama-sama bersyukur.
Hai dunia, elukanlah Rajamu penebus! Hai bumi,
laut, gunung, lembah, bersoraklah terus, bersoraklah terus, bersorak-soraklah
terus!”
Lirik lagu tersebut diambil dari nas kitab Mazmur
98, karena ayat ini diyakini menubuatkan kedatangan Yesus Kristus (sang Mesias)
dan penggenapan Perjanjian Baru, bahwa Yesus lahir untuk mati di atas kayu
salib menggantikan/menebus orang berdosa. Pujian dalam lagu ini menyatakan
Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan yang disambut dengan penuh suka
cita.
Dalam pandangan Islam, doktrin penebusan dosa
oleh darah Yesus di tiang salib adalah akidah yang batil karena tiga alasan
utama:
Pertama, Turunnya
Adam ke dunia (hubuthu Adam) tidak menyebabkan dosa waris kepada
anak-cucunya, karena tindakan Adam yang melanggar perintah Tuhan itu bukan
kesengajaan, melainkan satu kealpaan (Qs. Thaha 115, 122). Di samping itu, Adam
dan Hawa sudah bertaubat dan minta ampun kepada Allah (Qs. Al-A’raf 23), dan
Allah pun mengampuni keduanya (Qs. Al-Baqarah 37), karena Allah Maha Adil,
Penyayang dan Pengampun yang menjanjikan rahmat dan ampunan kepada hamba-Nya
yang bertobat (Qs. Az-Zumar 53-54, Al-Ma’idah 74).
Kedua, Allah SWT menekankan adanya tanggung
jawab individu manusia atas segala perbuatannya masing-masing (An-Najm 38-39,
Al-An’am 164, Al-Isra’ 15, Al-Baqarah 123, 286, Luqman 33, Yasin 54, At-Thur
21).
Ketiga, Doktrin kematian
Yesus di tiang salib juga tertolak karena beliau tidak mati disalib (An-Nisa’
157).
Naifnya, lagu Natal yang beraroma kemusyrikan
karena meniupkan doktrin Kristen ini diplagiat Emha dalam album “Shalawat
Global” dengan mengganti liriknya menjadi shalawat nabi SAW sbb: “Ya Nabi
salam alaik, ya Rosul salam alaik, ya Habib salam alaik, sholawatulloh alaik…
Rosulillah, sholawatulloh alaik. Rosulillah sholawatulloh alaik.”
Jejak Emha Ainun Nadjib di Gereja
Kalau dicermati, memang sejak sering blakrakan
ke gereja di berbagai kota di Indonesia bahkan sampai ke Roma Italia,[2] Belanda dan Jerman, Emha sangat
ahli mengawinkan shalawat Nabi dengan lagu-lagu yang beraroma kemusyrikan. Dan
Shalawat Global bukanlah hasil karya Emha satu-satunya. Jauh sebelumnya, Sabtu malam setelah shalat
tarawih (14/10/2006), dalam acara bertajuk “Pagelaran Al-Qur’an dan Merah
Putih Cinta Negeriku” di Mesjid Cut Meutia, Jakarta Pusat, Emha dan
gamelan Kiai Kanjeng melantunkan Shalawat Malam Kudus. Shalawat ini
adalah hasil perpaduan (medley) antara lagu natal Malam Kudus (Silent
Nigt) dengan Shalawat: “Sholatullah salamullah, ‘ala thoha Rasulillah,
sholatullah salamullah, ’ala yaasin Habibillah.” Anehnya, Emha dan Kiai Kanjeng
mendapat applaus yang sangat meriah dri hadirin. Dengan bangga Emha berujar,
“Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, tapi saya
bershalawat.” Omongan Emha ini menunjukkan bahwa dia adalah
orang yang hobi nggombal. Gombalnya bukan sembarang gombal, tapi gombal
mukiyo. Sudah jelas menyanyikan lagu Natal kristiani yang liriknya
dimanipulasi, kok tak malu-malu nggedabrus di rumah Allah,
mengaku bahwa ia sedang bershalawat nabi? Ah, Cak Nun, nggombal kok cik
nemene, rek…!
Setahun
berikutnya Emha mendukung ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran Yogyakarta
(8/8/2007) dengan tampil sebagai pembicara dalam dialog bertema “Membangun
Habitus Kebangsaan Baru” di halaman gereja tersebut. Di akhir acara, Emha
mempersembahkan lagu penutup berjudul “Hubbu Ahmadin” yang diaransemen dengan
irama orkestratif gerejawi. Lagu ini dinyanyikan secara bergantian oleh Kiai
Kanjeng dan tim paduan suara yang terdiri dari para biarawati. (Koran Seputar
Indonesia, 31 Agustus 2007).
Setahun kemudian (6-21/10/2008) Emha bersama
istrinya, Novia Kolopaking dan rombongan Kiai Kanjeng melakukan pementasan di
enam kota Negeri Belanda yakni Den Haag, Amsterdam, Deventer, Nijmegen,
Leeuwarden dan Zwole, atas undangan Centre for Reflection of the Protestant
Church bekerjasama dengan Hendrik Kraemer Institute. Di Den Haag, Emha dan
KiaiKanjeng manggung di Gereja Christus Triomfater. Dengan tema ‘Voices
& Visions’, Emha mempersiapkan nomor-nomor musik yang dikemas sesuai
dengan tema dialogis antarbudaya dan antaragama, salah satunya adalah lagu yang
sedan naik daun di Belanda dengan aransemen baru ala gamelan Kiai Kanjeng.
Jadi, Shalawat Global adalah lagu-lagu (Kidung
Jemaat) Natal yang liriknya diganti dengan shalawat dan salam kepada Rasulullah
SAW. Dengan kata lain, Shalawat Global yang di“sunnah”kan Emha adalah lagu
dengan irama gamelan hasil kawin-silang antara lagu Natal Yesus Kristus dengan
shalawat Nabi Muhammad SAW. Maka, kalau mau jujur, lagu-lagu Emha itu tidak
pantas dijuluki “Shalawat Global.” Judul yang paling tepat adalah “Kidung
Jemaat Gamelan Krislam,” yaitu perpaduan lagu rohani Kristen dan Islam.
.
Shalawat Global versus Wasiat Nabi SAW
Shalawat Nabi adalah ibadah yang disyariatkan
Allah dalam surat Al-Ahzab 56, yang lafalnya telah ditentukan Rasulullah dalam
berbagai hadits shahih ada 10 macam. Shalawat yang terpendek adalah “Allahumma
shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.”
Lantas, bagaimana keabsahan Shalawat Global hasil
kreasi Emha yang meracik sendiri shalawat gaya baru dengan melodi lagu-lagu
Natal yang mengusung doktrin ketuhanan Yesus dan penebusan dosa?
Dalam pandangan Al-Qur’an, salah satu perbuatan
yang diharamkan Allah adalah mencampuradukkan haq dan batil. Allah berfirman:
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak
dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui” (Qs Al-Baqarah 42).
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibnu Katsir
dalam tafsirnya mengutip ucapan Qatadah:
وَلاَ تَلْبِسُوا اْليَهُوْدِيَّةَ وَالنَصْرَانِيَّةَ بِاْلإِسْلاَمِ. إِنَّ دِيْنَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ، وَاْليَهُوْدِية وَالنَّصْرَانِيَّة بِدْعَة لَيْسَتْ مِنَ اللهِ.
“Janganlah kamu campuradukkan agama Yahudi dan
Nasrani dengan dinul Islam. Sesungguhnya din yang diridhai di sisi Allah
hanyalah Islam, sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah yang bukan berasal
dari Allah.”
Dengan kaidah tersebut, maka mengoplos lagu Natal
gerejawi dengan shalawat Nabi sama sekali tidak dibenarkan karena termasuk
mencampuradukkan tauhid (Islam) dengan kemusyrikan agama kafir.
Lantas bagaimana jika Shalawat Global itu
ditujukan untuk mengekspresikan kecintaan dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW?
Perlu diingat, bahwa apa yang dianggap baik tidak
otomatis menjadi sebuah kebaikan. Dalam urusan agama, niat baik saja belum
cukup, karena niat yang baik harus diiringi dengan perbuatan baik sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula dalam memuji dan bershalawat kepada
Nabi Muhammad SAW, harus sesuai dengan aturan Nabi SAW, salah satunya adalah
sabdanya berikut:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلاَم فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ.
“Dari Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kalian menyanjung-nyanjung aku seperti kaum Nasrani menyanjung Isa
putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah dan rasul-Nya” (HR
Bukhari, Ahmad dan Ad-Darimi).
Secara tegas dan jelas, Rasulullah melarang
penyanjungan (pujian, shalawat, dll) yang meniru-niru tradisi orang Kristen.
Maka bershalawat kepada nabi dengan cara yang meniru-niru (tasyabibuh) kepada
tradisi orang Kafir adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan secara agama.
Bukankah meniru-niru tradisi orang kafir itu juga perbuatan yang dilarang keras
oleh Allah dan rasul-Nya?
وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
“…Janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya…” (Al-Hadid 16).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia
termasuk dalam golongan mereka” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Tepatlah fatwa Syaikh Muhammad At-Tamimi dalam
kitab “Masa’il Jahiliyah” yang merinci 128 perilaku dan akhlak kaum Jahiliyah.
Salah satu ciri khas kaum jahiliyah yang menyelisihi Rasulullah SAW adalah tanaqudh
(kontradiktif) antara klaim dan perbuatan. Penisbatkan orang jahiliyah kepada
para nabi selalu dibarengi dengan penyelisihan kepada para nabi tersebut. Bershalawat kepada Rasulullah SAW dengan cara
menjiplak gaya kaum kafir yang notabena dilarang keras oleh Rasulullah SAW,
inilah fenomena Shalawat Global yang diajarkan Emha Ainun Nadjib kepada
jemaatnya.
.Gombal Mukiyo di Kepala Emha Ainun Nadjib
Dengan
menelaah tulisan-tulisan Emha di berbagai media, kita tidak akan heran apalagi
kaget dengan hasil karya Emha yang ciri khasnya adalah tidak lucu, tidak
serius, dan nggedabrus asal beda dan terlihat aneh. Kita akan
menyimpulkan, ternyata Shalawat Global bukanlah satu-satunya gombal Emha yang
menjadikan agama sebagai permainan (la’ibun) dan senda-gurau (laghwun).
Berikut ini adalah contoh beberapa daftar gombal Emha. Sengaja penulis tidak
menyertakan tanggapan maupun koreksinya, karena secara kasat mata semua orang
bisa metani (meneliti) keanehan maupun kejanggalan tersebut:
Mendramatisir Tuhan
“Sepertinya Tuhan harus lebih berterus terang di
hari-hari depan bangsa Indonesia ini, dan sama sekali tidak bisa mengandalkan
kecerdasan atau iktikad baik kita untuk melakukan rekapitulasi terhadap apa dan
siapa yang sebenarnya kita butuhkan dan apa siapa yang sesungguhnya
menghancurkan kita.” (Kolom Emha berjudul “Tempurung-Tempurung Jahat” di
website padhangmbulan.com).
Memanusiakan Tuhan
“Februari nanti Sidoarjo akan berulang tahun
dengan pencanangan “Sidoarjo Bangkit”. Dan kelihatannya Tuhan sangat mensupport
dan turut mempersiapkan segala sesuatunya secara effektif” (Kolom Emha
berjudul “Anugerah Agung bagi Korban Lumpur” di padhangmbulan.com, Harian Surya
22 Desember 2007).
Melukiskan Tuhan dengan Kalimat yang Seronok (Tuhan disebut memeloroti celana?)
“Kalau pelaku-pelaku terpenting dari jalannya
managemen negara ini lolos tidak terpeleset atau terjerembab atau terjerumus ke
jurang dari jalanan licin itu, maka kita punya kemungkinan untuk selamat. Kalau
apa yang selama ini berlangsung tidak bergerak menuju perubahan-perubahan yang
siginifikan, maka kecemasan adalah tindakan mulia. Mungkin sangat sedikit di
antara kita yang memperhatikan bahwa puncak-puncak dari makin banyak dunia
aktivitas – apa itu kesenian, ormas, budaya ketokohan, institusi
kepemerintahan, dlsb — sedang satu persatu “dipelorotin celananya” oleh
sejarah, lebih amannya: oleh Tuhan. “Dipelorotin celananya” itu maksudnya
ditunjukkan kepada publik wajah mereka yang sebenarnya” (Kolom Emha
berjudul “Tempurung-Tempurung Jahat” di website padhangmbulan.com).
Bangga Mengaku Dirinya Sebagai Setan
“Anda orang yang sangat cinta dan karib dengan
Muhammad SAW sehingga Anda bersifat Muhammadiyah, berwatak bak Muhammad,
sementara kami adalah setan-setan yang tidak punya andalan apapun untuk
mencintai Muhammad. Anda mungkin bagian penting dari Perhimpunan Orang Alim
atau Nahdlatul Ulama, sementara kami lebih pantas dicampakkan ke kubangan
Nahdlatus-Syayathin: gerombolan setan-setan… Kami para setan terletak pada
maqam yang sangat susah dan dilemmatis. Kami takut kepada Allah, tetapi
terlanjur bersumpah akan membuktikan kepada Tuhan hujjah atau argumentasi
kepada dulu Iblis di Bapak Setan ogah bersujud kepada Adam…
Ini bukan sesuatu yang dibikin-bikin. Saya ini
sendiri –bukan sekedar dalam pandangan saya, tetapi juga terutama pada
pandangan mereka yang karib dengan Allah: adalah juga setan. Sehingga wajah
saya adalah wajah setan, rambut saya adalah rambut setan, nyanyian saya adalah
nyanyian setan, puisi saya adalah puisi setan, dan orang-orang yang bersama
saya adalah teman-temannya setan.” (tulisan Emha berjudul “Belajar Kepada
Majlis Setan” yang dimuat di kolom Bangbang Wetan koran Surya 20 Oktober 2007, dan
dipublikasikan di Kolom Emha website padhangmbulan.com).
Secara Simbolik-Dinamik Menyebut Tuhan Telah Memperistri Makhluk-Nya
“Secara simbolik-dinamik sering saya memakai
idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah ‘memperistri’ makhluk-makhlukNya,
lelaki ‘memperistri’ perempuan dan Pemerintah ‘dipersuamikan’ oleh rakyat —
maka ummat manusia dinobatkan menjadi ’suami’ bagi alam semesta. Tugasnya
adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi,
menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi “rahmatan
lil’alamin” (Kolom Emha berjudul “Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu” di
padhangmbulan.com).
Semangat Pluralisme: Menganjurkan untuk Menjadi Penganut Allah, Muhammad, Yesus, Budha dan Sang Hyang Widhi.
“Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya
untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk
berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang
jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang
Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu
sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk
menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan
saya.” (Kolom Emha berjudul “Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu” di
padhangmbulan.com).
Shalat Sama dengan Rujak Cingur dan Pecel Karena Sama-sama Bisa Memabukkan
“Jangankan narkoba: air sajapun memabukkan kalau
sekali minum setengah drum. Nasi, rujak cingur, rawon, pecel, semua memabukkan
jika tidak dikontekstualisir secara ruang dan waktu. Mungkin itu sebabnya Tuhan
suruh kita sholat lima waktu yang keseluruhannya hanya butuh waktu sekitar
setengah jam. Kita pasti mabuk kalau Tuhan kasih metoda sholat yang satu kali
sholat butuh 3 jam, sehingga 5x sehari jumlah waktunya menjadi 15 jam. So
sholat sajapun memabukkan dan berakibat negatif kalau tidak tepat satuan ruang
dan waktunya” (Kolom Emha berjudul “Gerakan Majnun Internasional” di
padhangmbulan.com).
Narkoba Lebih Berbahaya daripada Neraka?
Maka narkoba itu 10x lipat setan iblis
efektivitasnya untuk memajnunkan manusia. Narkoba itu melebihi neraka, dan
pemakai narkoba adalah manusia terbodoh tiada tara. Di dalam neraka saja orang
kesakitan tersiksa tetapi memiliki kemuliaan karena sedang menjalani hukuman
alias pembersihan. Orang bersalah yang dihukum itu harus bangga karena memang
demikianlah yang benar. Salah + tidak dihukum = Salah kwadrat. Salah + dihukum
= Benar. Orang yang dipenjarakan dan dimasukkan neraka berarti menjalankan
kebenaran.” (Kolom Emha berjudul “Gerakan Majnun Internasional” di
padhangmbulan.com).
Mempersilahkan lahirnya aliran sesat Syi’ah, karena semakin banyak golongan semakin menghibur
“Sebagaimana kalau jumlah pemeluk Islam ada
sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran, dipersilahkan setiap orang
memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih
pertanggung-jawaban adalah Tuhan. Silahkan ada golongan NU, Muhammadiyah,
Persis, Persis NU, Persis Muhammadiyah, Muhammad NU, Sunni, Syiah, Sun’ah,
Syinni, PKNU, Langitan, Bumian, Lautan, Gunungan, PKB Alwiyah, PKB Wahidiyah,
PKB Muhaiminiyah, PKB Yenniyah… semakin banyak semakin demokratis dan
menghibur” (Kolom Emha berjudul “Gus Muhammad SAW” di padhangmbulan.com).
Majelis Ulama Indonesia dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah Sama Sesatnya
Di tengah gencarnya kecaman terhadap Al-Qiyadah
Al-Islamiyah yang dianggap menyebarkan ajaran sesat, budayawan Emha Ainun
Nadjib (Cak Nun) justru mengemukakan bahwa semua orang dan kelompok berada
dalam kesesatan, termasuk kiai, ulama bahkan orang-orang MUI (Majelis Ulama
Indonesia) sendiri yang sering memberikan lebel sesat: “Kalau MUI bilang ajaran
itu sesat, MUI juga sesat. Sesama sesat tidak boleh saling mengganggu” (www.republika.co.id).
Assalamu’alaikum bukan monopoli Islam
Yogyakarta, Kompas – Kerukunan antarumat beragama
di Indonesia masih berpeluang besar untuk terwujud jika setiap umat mau membuka
diri untuk bergaul. Selama ini interaksi itu kerap terhambat hanya karena
kesalahpahaman akan istilah linguistik tertentu.
Budayawan Emha Ainun Najib, yang akrab disapa Cak
Nun, mencontohkan pengucapan salam antarumat adalah contoh hambatan yang masih
kerap terjadi. “Kalimat assalamualaikum, misalnya, seolah-olah hanya menjadi
milik umat Islam, padahal semua umat boleh mengucapkannya sekaligus membalas
salam ini,” kata Cak Nun. (Kompas, 10 Agustus 2007).
.
Disukai Orang Gereja, Dipisuhi Korban Lapindo
Selain dikenal sangat pluralis, Emha Ainu Nadjib
yang oleh warga Sidoarjo akrab dipanggil “Ngainun” juga ingin tampil sebagai
sosok yang humanis. Ketika Porong dan sekitarnya ditimpa musibah lumpur Lapindo
sejak 29 Mei 2006, persoalan utama yang berlarut-larut dari tahun ke tahun
adalah relokasi dan ganti rugi atas hak-hak warga yang rumahnya tidak bisa
ditempati karena menjadi korban lumpur.
Di tengah himpitan bencana itu, awal Juli 2007,
sebanyak 11 ribu korban lumpur memberikan mandat tertulis kepada Ngainun untuk
mencari solusi dengan membawa persoalan itu kepada presiden SBY di Cikeas.
Sebagai mediator Ngainun dan kelompoknya membentuk Gabungan Korban Lumpur
Lapindo (GKLL). Karena kekecewaan warga, akhirnya GKLL itu terbelah dengan
berdirinya kelompok Gerakan Pendukung Peraturan Presiden 14/2007 (GEPPRES) yang
berbalikan arah dengan GKLL binaan Ngainun.
Kiprah Ngainun dan kelompoknya yang mengecewakan
para korban lumpur Lapindo itu sempat mencuat di Forum Pembaca Kompas. Perilaku
kelompok GKLL binaan Ngainun yang menjengkelkan pemungutan ‘uang jasa’ dan
menakut-nakuti korban lumpur Lapindo yang tidak mau menerima skema cash and
resettlement gagasan Ngainun dan elite GKLL bersama PT Minarak Lapindo
Jaya.
Di forum tersebut, Ngainun dinilai telah menjadi
garong. Bahkan di portal berpolitik.com dan portal korbanlumpur.info, para
korban lumpur misuh-misuh (memaki-maki) kepada Ngainun yang diyakini
telah mlokotho (memperdayai) mereka yang sudah tidak punya apa-apa. Dengan falsafah anjing menggonggong kafilah berlalu,
Ngainun dalam situs resminya justru memuji pihak Lapindo sebagai orang yang
dermawan kepada para korban Lapindo. Ngainun menulis: “Mereka yang dibayar 20
persen saja sudah makmur apalagi kalau sampai sisa pembayaran 80 persen
dibayar. Padahal, apa yang sebenarnya terjadi pada Lapindo, wong belum ada yang
diputuskan bersalah tapi sudah dibayar ganti rugi. Ibarat kata, Lapindo itu
sudah memberikan sodakoh kepada warga.”
Tulisan ini tidak hanya melukai perasaan para
korban lumpur, bahkan membuat para warga ingin melakukan tindakan fisik hingga
niat unguk penghilangan nyawa kepada Ngainun. Tak heran jika Prof Dr M Syafii
Maarif, tokoh Muhammadiyah di kolom Resonansi harian Republika (18/12/2007)
menyebut Ngainun sebagai orang yang “jual tampang” yang hanya meramaikan
suasana: “Sudah lebih setahun, kita dihadapkan pada bencana Lapindo yang tak
kunjung selesai, sementara penderitaan korbannya sudah sampai di batas
toleransi… Ada seniman yang jual tampang ke sana, tetapi hanya untuk menambah
heboh. Penderitaan tidak semakin berkurang.”
Entah kenapa, disadari atau tidak, Cak Nun
tiba-tiba berubah dari humanis menjadi sosok ironis. Di kalangan Muslim
tertindas ia dibenci dan dicaci, tapi di kalangan Kristen malah disukai dan
dipuji sampai ke negeri Belanda. Salah satu penyebabnya adalah kefanatikan
terhadap paham pluralisme yang direfleksikan dengan Shalawat Global hasil kawin
silang antara lagu gereja dengan shalawat Nabi.
Sebagian orang terheran-heran terhadap sensasi,
kontroversi dan kreativitas Shalawat Global rakitan Cak Nun itu. Tapi keheranan
ini hanya menimpa orang awam saja. Tetapi bagi umat Islam yang berpendidikan,
sepak terjang Cak Nun itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Jauh sebelumnya,
tahun 1994 sudah beredar lagu rohani gereja berirama lagu shalawat “Thola’al
Badru.” Tahun 2000 yang lalu beredar “Qasidah Kristiani” yang mengawinkan
lagu-lagu irama padang pasir dengan Kidung Jemaat kristiani. Judul lagu dalam
qasidah kristiani ini pun sangat menggelitik, di antaranya: Isa Almasih
Qudrotulloh, Allahu Akbar, Laukanallohu Aba’akum, Isa Kalimatullah, Ahlan
Wasahlan Bismirobbina, Nahmaduka Ya Allah, dll.
Walhasil, Shalawat Global buatan Cak Nun yang
menjiplak Kidung Jemaat Kristen itu sama sekali bukan hal baru, tapi hasil
murni meniru (mengekor) terhadap sepak-terjang para pendeta dan penginjil
sebelumnya. Wallahu a’lamu bis-showab
:: A. Ahmad
Hizbullah MAG [ahmadhizbullah@gmail.com,
[1] Lagu “Jingle Bells” diciptakan oleh James
Pierpont tahun 1859 sebagai lagu untuk pertandingan balap kereta luncur (sleigh
ride) yang hanya diadakan saat musim dingin tiba, karena salju adalah
media utama bagi kereta luncur. Arti lirik refrain lagu itu kurang lebih
demikian “Bel berbunyi sepanjang jalan, sangatlah menyenangkan naik diatas
kereta luncur yang dibawa oleh seekor kuda”. Entah apa yang menyebabkan lagu
Jingle Bells akhirnya diasumsikan sebagai lagu Natal.
[2] Pada tahun 2005, Cak Nun dan KiaiKanjeng tour
di Italia persis ketika Paus Johanes Paulus II wafat. Sebuah festival di mana
Cak Nun dan KiaiKanjeng dijadwalkan akan tampil dibatalkan tetapi Cak Nun dan
KiaiKanjeng justru diminta Walikota Roma untuk tampil dalam kesempatan
pemakaman Paus Johanes Paulus II. Mereka secara khusus menciptakan puisi dan
komposisi musik dalam rangka penghormatan terhadap Paus berjudul “O Papa.”
Posting ini diambil dari :
http://kristenisasi.wordpress.com/2009/10/16/shalawat-global-yang-kelewat-gombal/
0 komentar:
Posting Komentar